» » » Menimbang Wacana Pembubaran Kementerian Agama

Eksistensi Kementerian Agama kembali menjadi bahan perbincangan yang cukup hangat. Tidak hanya para politisi, masyarakat akar rumput-pun turut andil dalam memperbincangkan eksistensi salah satu Kementerian yang “seksi” ini. Adalah beredarnya susunan kabinet Jokowi-JK yang dimuat di berbagai media yang memicu diskursus pembubaran Kementerian Agama.

Susunan kabinet yang diketahui diusulkan oleh IReS (Indonesian Research and Survey) memuat sebanyak 34 nama kementerian yang diusulkan dalam kabinet Jokowi-JK (jppn.com). Diantara 34 nama kementerian tersebut, nama Kementerian Agama tidak lagi muncul. Kementerian ini disinyalir akan diambil alih perannya oleh Kementerian Haji, Zakat, dan Wakaf.

Isu tersebut seketia dibantah oleh oleh tim Jokowi-JK. Bahkan Tim Transisi yang dikenal sebagai lembaga think thank-nya Jokowi-JK membantah isu dihapuskannya Kementerian Agama (sindonews.com). Partai-partai pengusung-pun ramai-ramai ikut membantah. Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar menyebut bahwa berita dihapusnya Kementerian Agama merupakan isu yang sesat dan menyesatkan (tribunnews.com). Eva Sundari, politisi PDI Perjuangan turut membantah beredarnya kabar pembubaran Kementerian Agama. Menurutnya, isu ini sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab (wartaekonomi.co.id).

Meskipun berita penghapusan Kementerian Agama telah dibantah oleh tim Jokowi-JK, tak pelak isu tersebut terlanjur bergulir secara liar di masyarakat. Pro dan kontra mengiringi semakin membesarnya isu ini.

Terlepas dari pro dan kontra penghapusan Kementerian Agama, layak sekiranya kita telusuri akar permasalahan dan sejarah yang menyertai dibentuknya Kementerian Agama.

Sejarah Lahirnya Kementerian Agama

Lahirnya Kementerian Agama tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kementerian Agama lahir tidak lama setelah proklamasi Kemerdekaan RI. Pembentukan Kementerian Agama ditetapkan berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946.

Pembentukan Kementerian Agama dalam sejarahnya tidak serta merta disetujui oleh para founding father negeri ini. Usulan pembentukan Kementerian Agama pertama kali disampaikan pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Usulan ini kemudian ditolak oleh peserta rapat. Adalah Mr. Johannes Latuharhary yang menolak dibentuknya Kementerian Agama (kemenag.go.id).

Dengan ditolaknya usulan itu, praktis pada masa awal dibentuknya, Pemerintahan Indonesia diurus dan diatur dengan mengacu pada teori sekularisasi, dimana urusan agama dan negara dipisahkan satu sama lainnya (Nasar: 2010). Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh KH. Wahid Hasyim sebagaimana dimuat dalam buku Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar: “Pada waktu itu orang berpegang pada teori bahwa agama harus dipisahkan dari negara. Pikiran orang pada waktu itu, di dalam susunan pemerintahan tidak usah diadakan kementerian tersendiri yang mengurusi soal-soal agama. Begitu di dalam teorinya. Tetapi di dalam prakteknya berlainan”.

Selanjutnya beliau menyatakan: “Setelah berjalan dari Agustus hingga November tahun itu juga, terasa sekali bahwa soal-soal agama yang di dalam prakteknya bercampur dengan soal-soal lain di dalam beberapa tangan (departemen) tidak dapat dibiarkan begitu saja. Dan terasa perlu sekali berpusatnya soal-soal keagamaan itu di dalam satu tangan (departemen) agar soal-soal demikian itu dapat dipisahkan (dibedakan dari soal-soal lainnya.Oleh karena itu, maka pada pembentukan Kabinet Parlementer yang pertama, diadakan Kementerian Agama.”

Setelah pemerintahan berjalan beberapa bulan, disadari perlunya urusan keagamaan ditangani oleh lembaga tersendiri. Oleh karena itu, ketika diselenggarakan sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada bulan November, diusulkanlah pembentukan Kementerian Agama sebagai lembaga yang mengurusi urusan-urusan keagamaan warga negara. Usulan yang disampaikan oleh M. Soekoso Wirjosaputro, utusan KNI Daerah Banyumas, mendapat sambutan dari peserta sidang. Bahkan Presiden Soekarno yang saat itu hadir dalam sidang KNIP memberi isyarat persetujuan dibentuknya Kementerian Agama. Melalui Penetapan Pemerintah No. 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946, Kementerian Agama dibentuk (Nasar: 2010).

Kementerian Agama dan Bentuk Kompromi Nasionalis-Islamis

Pembentukan Kementerian Agama tidak dapat dilepaskan dari faktor sosio-politik yang berkembang pada masa itu. Perdebatan panjang para founding father terhadap dasar/asas negara mengawali berdirinya Republik Indonesia (Solikin: 2012). Sebagaimana dipahami, pada awal berdirinya, perdebatan tentang dasar negara menjadi isu politis yang cukup panas. Bahkan perdebatan ini hadir sebelum Indonesia merdeka (Sukamto: 2013). Di satu sisi, tokoh-tokoh Islam menginginkan Islam dijadikan sebagai dasar negara. Sementara kalangan nasionalis dan sebagian tokoh dari Indonesia Timur menginginkan negara yang akan dibentuk terbebas dari pengaruh agama apapun.

Perdebatan diawali dengan pembahasan gentlements agreement pada tanggal 22 Juni 1945. Dokumen yang oleh M. Yamin disebut sebagai Piagam Jakarta, mengakomodir pencantuman tujuh kata yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dengan dipertahankannya tujuh kata tersebut, maka dapat dianggap sebagai kemenangan sementara kalangan Islam.

Kemenangan kalangan Islam, ternyata tidak bertahan lama. Sehari setelah diproklamirkan berdirinya Republik Indonesia, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Penghapusan ketujuh kata tersebut dilatarbelakangi oleh keberatan dari berbagai kalangan, terutama tokoh Kristen yang berasal dari Indonesia Timur, tokoh abangan, dan tokoh yang berpendidikan Barat.

Penghapusan ketujuh kata dalam Piagam Jakarta menandai “kekalahan” kalangan Islam atas kalangan nasionalis yang didominasi oleh kelompok Kristen, Abangan, dan para alumni pendidikan Barat . Bahkan penghapusan ini juga dimaknai oleh sebagian tokoh Islam sebagai kekalahan umat Islam yang mayoritas. Sebagaimana dikutip Sukamto, Ansari mengungkapkan kekesalannya terhadap situasi ini sebagai berikut:

Segera setelah para nasionalis yang Islami mengetahui bahwa, Indonesia merdeka, yang turut mereka perjuangkan, bahkan berdasarkan Piagam Jakarta pun tidak, maka “ the majority of the Muslim population felt disappointed” (1997:57).

Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta memicu perselisihan antara umat Islam dan Kristen. Kalangan Islam menuduh aktor di balik dihapusnya ketujuh kata tersebut adalah para tokoh Kristen. Peristiwa ini kelak mempengaruhi hubungan antara Islam dan Kristen di negeri ini. Tidak hanya berdampak jangka pendek, “dendam sejarah” dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta ternyata terus dipelihara, oleh kelompok Islam fundamentalis utamanya, dari generasi ke generasi.

Dalam konteks inilah, kehadiran Kementerian Agama dianggap sebagai setitik oase di tengah kekecewaan mendalam umat Islam atas dihapusnya ketujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kementerian Agama hadir sebagai bentuk kompromi antara kaum sekuler nasionalis yang tidak menghendaki negara berasas/berideologi Islam dengan sebagian umat Islam yang menginginkan negara ini berideologi Islam.

Kehadiran Kementerian Agama pada awalnya tetap dicurigai kalangan non muslim. Mereka menuduh bahwa pembentukan Kementerian Agama merupakan langkah awal berdirinya Negara Islam (sulsel.kemenag.go.id). Mereka menuduh bahwa ini hanyalah strategi kaum Islamis untuk mendirikan negara yang dicita-ciatakannya. Tuduhan ini dijawab oleh KH. Wahid Hasyim. Ia menyatakan bahwa “adalah pantas bagi Kementerian Agama untuk memberikan perhatian lebih besar kepada masalah-masalah Islam, karena jumlah penduduk Muslim jauh lebih banyak dibandingkan jumlah kaum non Muslim. Karena itu, ujarnya, tugas-tugas untuk pengelolaan masalah-masalah Islam dan kaum Muslimin tidak sama besarnya dengan penanganan masalah-masalah kaum non-Muslim. Jadi, perbedaan ini tidaklah didasarkan pada diskriminasi agama.” Selanjutnya beliau berpendapat “Model Kementerian Agama ini pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara.” (Nasar: 2010).

Kementerian Agama dalam Konteks Kekinian

Sejarah hadirnya Kementerian Agama tak lepas dari dua isu besar yang senantiasa menyertai sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Kementerian Agama merupakan hasil dari perdebatan antara ideologi negara yang juga berdampak pada relasi antara Islam dan Kristen.

Dalam konteks perdebatan ideologis, Kementerian Agama lahir sebagai bentuk kompromi antara dua kutub yang tidak pernah dapat dipertemukan, kelompok Islamis dan kelompok nasionalis. Selain tidak akan pernah bertemu, juga pada faktanya “pertarungan” antara kaum Islamis vis a vis kaum nasionalis masih berlangsung sampai saat ini, bahkan mungkin tidak pernah hilang dari sejarah kehidupan manusia.

Menghilangkan eksistensi Kementerian Agama berpotensi “membangunkan” pertarungan antara kaum Islamis dan nasionalis. Penghapusan Kementerian Agama dapat menjadi alat legitimasi kalangan Islamis untuk melakukan pertentangan terhadap negara. Justifikasi yang selama ini dibangun bahwa NKRI bukan negara sekuler, akan serta-merta runtuh dengan dihapuskannnya Kementerian Agama. Pada akhirnya, bentuk negara yang sudah dianggap 100% sekuler, dapat dijadikan sebagai legitimasi oleh kelompok Islamis untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah.

Tidak hanya menghadapi potensi ancaman dari kelompok Islam fundamentalis, penghapusan Kementerian Agama juga berpotensi memicu "eksodus" kalangan Islam moderat. Keberadaan Kementerian Agama yang selama ini menjadi legitimasi atas bentuk negara yang moderat (tidak sekuler tetapi tidak juga menjadi negara agama) selama ini cukup memuaskan mereka. Tidak menutup kemungkinan jika eksistensi lembaga yang mencirikan bentuk negara moderat tersebut dihilangkan, akan memunculkan kekecewaan, yang pada akhirnya mereka mengkonversi diri menjadi fundamentalis dan beroposisi secara ekstrim terhadap negara dan penguasanya. Sebuah kondisi yang tentunya tidak diharapkan oleh siapapun.

Dalam konteks relasi antara Islam dan Kristen, Kementerian Agama yang pada awal terbentuknya dicurigai sebagai “prototipe” negara Islam oleh sebagian kalangan, ternyata mampu membuktikan independensinya dari pengaruh Islam Ideologis. Bahkan dalam perkembangannya, Kementerian Agama bermetamorfosis sebagai pelayan seluruh pemeluk agama. berdirinya Direktorat Jenderal Agama Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha menjadi bukti tak terbantahkan netralitas Kementerian Agama.

Berdasarkan fakta di atas, secara politis eksistensi Kementerian Agama menjadi perkara yang cukup penting. Kesalahan strategi dalam memperlakukan Kementerian Agama sebagai sebuah institusi, akan berdampak yang tidak sederhana. Kementerian Agama sebagai media “perekat dan “kompromi” antara kaum nasionalis dan Islamis sangat dibutuhkan eksistensinya. Terlebih, jika dihadapkan pada bentuk pelayanan bagi para warga negara dengan agama yang beragam, tentu eksistensi Kementerian Agama tidak tergantikan.[]

Penulis: Arif Gunawan Santoso




Daftar Pustaka.

  1. jppn.com, “Ini 34 Nama Menteri Kabinet Jokowi-JK Versi IreS”, http://m.jpnn.com/news.php? id=257898,
  2. Nasar, M. Fuad. “Menapaki Sejarah Kementerian Agama RI”,Ikhlas Beramal, Nomor 61, Tahun XIII, Maret 2010.
  3. Profil Kementerian Agama RI, http://e-dokumen.kemenag.go.id/files/r5yH4vPq1326688439.pdf,
  4. sindonews.com, “Tim Transisi Jokowi-JK Bantah Kemenag Akan Dihapus”, http://nasional.sindonews.com/read/902378/12/tim-transisi-jokowi-jk-bantah-kemenag-akan-dihapus
  5. tribunnews.com, “Cak Imin: Isu Penghapusan Kementerian Agama Sesat”, http://www.tribunnews.com/nasional/2014/09/17/cak-imin-isu-penghapusan-kementerian-agama-sesat
  6. wartaekonomi.co.id, “PDI-P Bantah Kabar Pembubaran Kementerian Agama”, http://wartaekonomi.co.id/berita35305/pdip-bantah-kabar-pembubaran-kementerian-agama.html
  7. Solikin, Ahmad. “Pemikiran Politik Negara dan Agama ‘Ahmad Syafi’i Ma’arif’”, Jurnal Politik Muda, Vol.2 No.1, 2012.
  8. Sudirman, “Lintasan Sejarah Agama-Agama Di Indonesia”, http://sulsel1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=310
  9. Sukamto, Amos. “Ketegangan Antara Kelompok Agama pada Masa Orde Lama sampai Awal Orde Baru: Dari Konflik Perumusan Ideologi Negara sampai Konflik Fisik”, Jurnal Teologi Indonesia, 1/1, Juli 2013.


Sumber: http://balitbangdiklat.kemenag.go.id

About Admin

Abu Rasyidah Judi Muhyiddin, Penyuluh Agama Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bekasi | Pin BB 73ca04f3 | Whatsapp 081315609988 | email salampenyuluh@gmail.com
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply