» » Tiga Asas Masyarakat Madani

MIMBARPENYULUH.com — Di antara peristiwa penting dalam perjalanan kehidupan kaum muslimin adalah hijrahnya Rasulullah SAW dan kaum muslimin dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah saat ini). Peristiwa hijrah menjadi tonggak berdirinya masyarakat baru, masyarakat Islam. Masa terjadinya peristiwa ini pula yang kemudian ditetapkan oleh khalifah Umar Bin Khattab sebagai awal perhitungan tahun pertama kalender Islam.

Peristiwa hijrah merupakan awal babak baru dakwah dan perjuangan Rasulullah SAW beserta kaum muslimin dalam membangun sebuah masyarakat dan peradaban baru. Masyarakat Islami yang hidup di bawah naungan cahaya Islam dan terbebas dari beragam bentuk kegelapan jahiliyah.

Setelah lebih kurang tiga belas tahun Rasulullah SAW berdakwah di Mekkah beliau dapati negeri tersebut tidak lagi kondusif bagi kelangsungan dakwah dan proyek besar pembentukan masyarakat yang Islami. Berbagai bentuk permusuhan dan rintangan dilancarkan oleh kaum kuffar mulai dari cacian, hinaan, pemboikotan, penangkapan kaum muslimin, penyiksaan dan pembunuhan.

Atas bimbingan Allah, kaum muslimin kemudian hijrah ke Yatsrib, sebuah negeri yang siap menerima dan menyambut dakwah Islam. Di negeri baru inilah kemudian Rasulullah SAW memulai memancangkan tonggak-tonggak utama berdirinya masyarakat Islami. Segera setelah beliau tiba di Yatsrib beliau segera melakukan konsolidasi kaum muslimin dan mengambil kebijakan-kebijakan mendasar dalam rangka membangun sebuah masyarakat Islami yang kokoh.

Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthiy dalam kitabnya Sirah Nabawiyah, mencatat tiga langkah yang diambil Rasulullah SAW:
a. Membangun masjid
b. Mempersaudarakan kaum muslimin
c. Menetapkan perjanjian (dustur) yang mengatur hubungan sesama kaum muslimin dan dengan kaum non-muslim (Yahudi).

Pembangunan Masjid

Masjid adalah titk pusat gerak kehidupan kaum muslimin. Inti dari keberadaan masjid sesungguhnya dalam rangka mengokohkan keimanan masyarakat Islam, di mana keimanan adalah titik tolak segala aktifitas seorang muslim. Dengan keimanan kepada Allah SWT, perjumpaan dengan-Nya dan adanya kehidupan akhirat menjadikan seorang muslim memiliki orientasi yang jelas dalam kehidupannya. Dengan jelasnya orientasi tersebut menjadikan mereka tidak akan kebingungan dan tidak akan terombang-ambing dalam langkahnya dan kemudian memiliki kesadaran penuh apa yang akan mereka perjuangkan dalam kehidupan di muka bumi. Mereka memiliki kesadaran bahwa keberadaan mereka di muka bumi adalah mengemban dua misi besar yakni pengabdian (ibadah) kepada Allah SWT dan menjadi khalifah di muka bumi.

Di samping pengokohan nilai keimanan, masjid juga menjadi sarana penanaman dan pengokohan nilai-nilai persamaan, persaudaraan dan kasih sayang.

Masjid mengajarkan kepada manusia nilai persamaan, bahwa setiap manusia adalah sama di hadapan Allah SWT. Siapapun yang masuk masjid memiliki hak untuk menempati shaf pertama tidak pandang ia miskin atau kaya, rakyat ataupun pejabat. Di dalam masjid segala pangkat, kedudukan, jabatan, kekayaan serta status dan atribut sosial lainnya dihapus. Kedudukan mereka sederajat sama-sama sebagai hamba Allah yang harus memberikan ketundukan kepada Allah SWT.

Sementara itu kedekatan, keakraban, persaudaraan dan kasih sayang sesama anggota masyarakat terlahir dengan adanya perkumpulan dan perjumpaan secara rutin di masjid tatkala menunaikan segala aktifitas secara bersama-sama (berjama’ah).

Singkatnya, masyarakat muslim tidak akan terbentuk secara kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, aqidah, dan tatanan Islam. Hal ini tidak akan didapatkan kecuali melalui semangat masjid.

Mempersaudarakan dan Mempersatukan Kaum Muslimin

Langkah kedua yang dilakukan Rasulullah SAW adalah mempersaudarakan sesama kaum muslimin, khususnya antara muhajirin dan anshor. Sebagaimana kita ketahui bahwa kaum muhajirin berhijrah meninggalkan kampung halamannya dan seluruh harta benda milik mereka. Mereka datang di Yatsrib sebagai kaum yang papa tanpa memiliki apapun. Mereka adalah pendatang yang tidak memiliki tempat tinggal dan harta benda, dan mayoritas mereka juga tidak memiliki famili. Dibandingkan dengan kaum anshor, kondisi muhajirin jelas berbeda jauh. Dalam kacamata sosial, kesenjangan semacam ini akan menjadi permasalahan serius jika tidak diatasi. Maka Rasulullah SAW menempuh jalan mempersaudarakan antara muhajirin dan anshor. Masing-masing dicarikan pasangan sebagai saudara dengan konsekuensi saling menolong dan menanggung bahkan saling mewarisi harta bendanya (catatan: di kemudian hari ketetapan saling mewarisi ini dihapuskan). Dengan kebijakan ini maka setiap muhajirin mendapatkan tempat tinggal dan tanggungan dari saudaranya kaum anshor.

Menetapkan Perjanjian (dustur) yang mengatur hubungan sesama kaum muslimin dan dengan kaum non-muslim (Yahudi).

Ketika Rasulullah SAW beserta kaum muslimin baik dari muhajirin dan anshor telah membangun sebuah bangunan masyarakat baru di Madinah, pada saat yang sama sekelompok non muslim (Yahudi) juga telah menetap di kota Madinah. Demi menjaga stabilitas masyarakat dan keamanan Madinah Rasulullah memandang perlu untuk menetapkan aturan-aturan khusus (perjanjian) yang akan mengikat sesama kaum muslimin dan juga kaum Yahudi.

Perjanjian yang biasa kita kenal dengan Piagam Madinah tersebut menjelaskan dan menetapkan tentang hak-hak dan kewajiban anggota masyarakat Madinah. Setiap elemen masyarakat yang ada di Madinah diperlakukan secara adil dan baik.

Konteks Keindonesiaan

Tiga hal yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tersebut menjadi pelajaran bagi kita bagaimana semestinya membangun sebuah masyarakat dan bangsa yang baik dan kokoh. Pembangunan bangsa ini akan dapat berjalan dengan baik dan tercapai tujuan-tujuannya manakala dilandasi dengan komitmen pada nilai-nilai kebaikan, moral dan keimanan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini berarti proses pembangunan bangsa ini tidak boleh dilepaskan dari nilai-nilai keagamaan yang ada.

Selanjutnya keberhasilan pembangunan bangsa ini juga harus dilandasi dengan adanya persatuan dan persaudaraan antar seluruh elemen bangsa yang ada. Persatuan harus menjadi prinsip bersama yang harus dikedepankan mengalahkan segala ego dan kepentingan-kepentingan sempit pribadi, kelompok atau golongan.

Kemudian yang tidak kalah penting adalah penegakan aturan, hukum dan keadilan. Setiap anggota masyarakat harus diperlakukan dengan adil sesuai dengan hak dan kewajibannya. Tidak boleh adanya diskriminasi dan perlakuan yang berbeda di depan hukum.

Wallahu a’lam bish showab.


Oleh Judi Muhyiddin, S.Sos.I.
Penyuluh Agama Islam Wilayah Kec. Serang Baru
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bekasi
http://mimbarpenyuluh.com

About Admin

Abu Rasyidah Judi Muhyiddin, Penyuluh Agama Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bekasi | Pin BB 73ca04f3 | Whatsapp 081315609988 | email salampenyuluh@gmail.com
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply