» » Bijak Menyikapi Perbedaan (Ikhtilaf)

MIMBARPENYULUH.com — Islam sangat menekankan persatuan bagi umatnya. Banyak ayat maupun hadits yang menegaskan akan hal ini antara lain: “Dan berpegang teguhlah kepada tali agama Allah dengan berjamaah dan janganlah kalian bercerai-berai....” (Ali Imran: 103). “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam kondisi barisan yang rapi laksana bangunan yang kokoh” (Ash Shoff: 4). “Perumpamaan mukmin satu dengan mukmin yang lain seperti satu bangunan, satu bagian saling menguatkan dengan bagian yang lain” (Hadits).

Tidaklah berlebihan dengan banyaknya nash yang memerintahkan persatuan serta celaan bagi tindakan berpecah-belah dan bercerai-berai jika kita katakan bahwa mewujudkan persatuan di tengah ummat adalah kewajiban sebagaimana kaidah ushul fiqh mengatakan “Al amru yahtadi al wujub” (perintah itu menunjukan adanya kewajiban).

Di sisi lain, persatuan kaum muslimin bukan berarti mereka harus seragam dalam segala hal. Perbedaan (ikhtilaf) sejatinya tetap akan terjadi bahkan menjadi sebuah keniscayaan. Perbedaan adalah hal yang wajar sesuai tabiat. Dr. Yusuf Qaradlawi dalam bukunya “Min Fiqh Al Ikhtilaf” menyebutkan beberapa alasan kenapa ikhtilaf pasti terjadi:

Tabiat Agama (thabi’atud diin)

Allah SWT menjelaskan hukum-hukum agama-Nya dengan berbagai keadaan. Ada penjelasan-penjelasan yang dikemukakan secara eksplisit (manshus ‘alaihi) dan ada pula yang secara implisit (maskut ‘anhu). Di antara penjelasan eksplisit ada yang tergolong muhkamat dan mutasyabihat, ada yang qath’iyyat dan zhanniyat, ada yang sharih dan muawwal, ada yang harus diterima total sebagai ibtila (ujian keimanan) ada pula yang diberikan kesempatan untuk ijtihad dan istinbath.

Tabiat Bahasa (thabi’atul lughah)

Berbicara tentang syari’at Islam maka rujukannya adalah Al Qur-an dan As Sunnah. Al Qur-an adalah firman-firman Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW dalam lafadz dan ungkapan bahasa Arab, sebagaimana halnya hadits adalah sabda-sabda Rasulullah dalam ungkapan bahasa Arab pula.

Tabiat bahasa mengenal adanya makna hakiki dan makna majazi, makna tunggal dan makna ganda (musytarak), makna yang penunjukannya secara eksplisit (dalalatul muthabaqah) dan makna tersirat (dalalatut tadlamun). Ada pula dikenal makna umum (‘amm) dan khusus (khash), makna muthlaq dan muqayyad, dan lain sebagainya.

Satu contoh bahwa masa iddah seorang wanita yang dicerai oleh suaminya adalah tiga quru’ (tsalatsata quru’). Ulama menjelaskan bahwa kata quru’ dapat bermakna masa haidlnya seorang wanita dan dapat juga bermakna masa sucinya seorang wanita. Tiga quru’ berarti tiga kali masa haidl atau dapat juga tiga kali masa suci.

Contoh yang lain kata lamasa dalam surat Al Maidah: 6, bermakna menyentuh (sekedar bersentuhan kulit pria dan wanita) yang mengharuskan mereka bersuci (berwudlu/tayammum), namun kata tersebut oleh orang Arab juga umum dipakai untuk ungkapan hubungan badan (jima suami-istri). Sehingga jika dipahami demikian, maka sekedar bersentuhan kulit tidak membatalkan wudlu.

Tabiat Manusia (thabi’atul insan)

Manusia diciptakan oleh Allah dalam kondisi yang beragam baik dalam hal jenis kelamin, kecerdasan, pemikiran, sifat-sifat, kecenderungan psikologis, minat dan bakat, kepribadian dan sebagainya. Ada orang yang memiliki kecerdasan luar biasa bahkan jenius, ada pula yang biasa-biasa saja. Ada orang yang dapat memahami suatu permasalahan dengan satu kali penjelasan, namun ada juga orang yang berkali-kali diberikan penjelasan tetap tidak paham.

Ada orang yang cenderung bersikap kaku dan ketat namun ada juga yang longgar (moderat) dan fleksibel. Sebagaimana di kalangan sahabat kita kenal Abdullah bin Umar yang ketat, ada pula Abdullah bin ‘Abbas yang lebih fleksibel pendapat dan fatwa-fatwanya.

Tabiat Alam Lingkungan (thabi’atul bi-ah)

Lingungan alam di mana manusia tinggal juga mempengaruhi sikap, kebiasaan dan perilaku mereka. Tabiat masyarakat pedesaan tentu berbeda dengan masyarakat kota. Orang yang tinggal di gunung tentunya berbeda dengan orang yang tinggal di pesisir pantai atau di gurun pasir. Manusia yang tinggal di wilayah berhawa dingin tentu juga memiliki perilaku yang berbeda dengan yang tinggal di daerah panas.

Hal inilah salah satu yang melatar belakangi perubahan-perubahan fatwa Imam Syafi’i, sehingga fatwa-fatwa yang beliau keluarkan di Mesir (dikenal dengan qoul jadid) terkadang berbeda dengan fatwa-fatwa beliau sebelumnya sewaktu tinggal di Bahgdad (dikenal dengan qoul qadiim).

Dengan berbagai alasan itulah tidak mungkin bagi kita menolak perbedaan. Dan keinginan serta usaha untuk menghilangkan setiap perbedaan hanyalah perbuatan yang membuang-buang energi dan bertentangan dengan sunatullah. Yang dituntut bukanlah menghapus setiap perbedaan akan tetapi bagaimana kita dapat bijak menyikapi perbedaan.

Lihatlah kebijaksanaan Imam Malik, ketika khalifah Ja’far Al Manshur berniat memerintahkan seluruh kaum muslimin untuk mengikuti pendapat (madzhab) beliau dengan merujuk kepada kitab Al Muwaththa’ yang beliau susun.

Maka dengan keluasan ilmu dan kebijaksanaannya, Imam Malik menolak keinginan tersebut seraya mengatakan, “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah SAW telah menyebar ke berbagai pelosok negeri, dan di setiap negeri masyarakatnya memiliki ilmu (kebiasaan, wawasan dan tradisi) yang berbeda-beda. Jika engkau wahai khalifah hendak memaksa mereka kepada satu pendapat (yakni pendapatku) maka akan terjadi fitnah.”

Sepeninggal Rasulullah SAW para sahabat berpencar ke berbagai penjuru negeri menyebarkan dakwah Islam dan membebaskan berbagai wilayah baru. Yang perlu digaris bawahi bahwa setiap sahabat adalah dai yang menyebarkan Islam. Hanya saja kapasitas keilmuan mereka jelas tidak sama. Sebagian sahabat hafal 30 juz Al Qur-an dan ribuan hadits, namun ada juga yang hanya hafal beberapa juz serta beberapa hadits. Ketika mereka mendatangi suatu kaum di negeri yang baru maka mereka menyampaikan dan mengajarkan Islam sesuai dengan kapasitas keilmuan mereka, sehingga tidak mungkin umat Islam di beragam negeri akan memiliki pemahaman keislaman yang sama. Sehingga jika kemudian dipaksakan kepada satu pendapat maka akan terjadi fitnah di tengah-tengah mereka.

Muhammad Rasyid Ridho memberikan sebuah tips: “Kita bertolong-menolong (bekerjasama) dalam hal-hal yang disepakati, dan saling memahami (lapang dada) dalam hal-hal yang diperselisihkan”

Semestinya kita bekerjasama dalam hal-hal pokok (ushul) agama ini dan saling lapang dada menyikapi perbedaan dalam masalah cabang (furu’). Kita saling bekerjasama dalam perkara-perkara prinsip dan toleran menyikapi perbedaan dalam perkara sarana. Kita saling mendukung dalam kewajiban-kewajiban dan fardlu-fardlu agama, kemudian saling menghormati dalam pengamalan perkara-perkara sunnah dan anjuran.

Yang perlu digaris bawahi sekali lagi bahwa ikhtilaf adalah keniscayaan. Jika para ulama saja saling berbeda pendapat, tentu tidak pada tempatnya jika kita malah ingin memaksakan pendapat kita kepada saudara kita.

Sebagai penutup ada satu kisah, suatu ketika di bulan Ramadhan seorang ulama terkemuka di Mesir berkunjung ke suatu perkampungan, di mana masyarakat muslim di kampung tersebut telah terpecah akibat perbedaan pendapat dalam pengamalan agama, salah satunya adalah perkara jumlah raka’at tarawih. Ulama besar ini disegani dan dihormati oleh seluruh kalangan lantaran keluasan ilmu dan kebijksanaannya dalam banyak hal.

Mengetahui kedatangan ulama tersebut maka masing-masing kelompok meminta kepada beliau untuk berkenan hadir di masjid mereka dan menjadi imam tarawih mereka, masing-masing berharap mendapat legitimasi dari sang ulama dengan kesediaannya hadir di masjid mereka.

Maka dikumpulkanlah seluruh warga kampung tersebut. Sejurus kemudian beliau berbicara, tiba-tiba beliau meminta kepada warga agar diberikan balok kayu, paku dan palu. Maka heranlah seluruh warga dan ada yang bertanya, “Ya syaikh, untuk apa semua itu? Kami hanya meminta engkau menjadi imam tarawih kami”.

Sang ulama menyahut, “Saya akan palang pintu masjid kalian, dan kalian semua pulang ke rumah tidak usah tarawih di masjid. Silahkan tarawih di rumah masing-masing. Tarawih adalah sunnah, sementara persatuan adalah wajib. Bagaimana mungkin kalian meributkan yang sunnah dan mengabaikan yang wajib? Secara prioritas kewajiban harus dikedepankan”.

Tentunya bukan maksud sang ulama mengabaikan amalan tarawih, tapi beliau ingin menegaskan akan persatuan ummat yang jauh lebih mendasar dan prinsip bagi kebaikan umat Islam. Wallahu a’lam bish showab.


Judi Muhyiddin, S.Sos.I
Penyuluh Agama Islam Kec. Serang Baru
Kantor Kementerian Agama Kab. Bekasi
www.mimbarpenyuluh.com

About Admin

Abu Rasyidah Judi Muhyiddin, Penyuluh Agama Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bekasi | Pin BB 73ca04f3 | Whatsapp 081315609988 | email salampenyuluh@gmail.com
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply