» » Pendidikan yang Lahirkan "Rahib" di Malam Hari, "Panglima" di Siang Hari

MIMBARPENYULUH.com — “DIDIKLAH anakmu dengan sungguh-sungguh, karena ia akan hidup di sebuah masa selain zamanmu,” demikian kutip Ali bin Abi Thalib. Kita bersyukur, berbagai intitusi pendidikan formal bermunculan di mana-mana baik yang bercorak konvensional ataupun yang terpadu, bak jamur di musim hujan di tanah air kita. Yang dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta.

Secara kuantitas, input dan lulusan pendidikan sejak Taman Kanan-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) semakin bertambah. Tetapi, jika kita mencoba melihat ke dalam secara jujur dan obyektif kita mengakui, dan mencoba memberikan catatan ringan, sesungguhnya lembaga pendidikan yang ada tidak menggambarkan, mewakili dan mewujudkan idealisme pendirian sebuah lembaga pendidikan itu sendiri.

Pendidikan yang tidak melahirkan ilmuan yang memiliki kepribadian yang pemimpin. Dan pemimpin yang ‘alim (Al ‘Alimuz Za’im waz Za’imul ‘Alim). Yang bermanfaat ilmunya, baik untuk dirinya dan orang lain, ilmu nafi’ (ilmu yang membela pemiliknya di akhirat). Bukan kepandaiannya digunakan untuk memanipulasi angka-angka, menyalahgunakan wewenang. Ilmu yang menjadi penggugat pemiliknya di Mahkamah Ilahi, ilmun la yanfa’ (ilmu yang tidak bermanfaat). Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam di atas.

Faktanya, pendidikan kita telah gagal melahirkan manusia yang berkarakter. Cenderung memperlakukan anak didik bagaikan robot. Bukan manusia, yang di dalamnya ada perasaan. Pendidikan yang kurang humanis. Tampilan manusia sipil yang berwatak militer, manusia cerdas yang miskin moralitas, manusia modern yang berwatak primitif, manusia yang sehat secara pisik tetapi sakit ruhaninya, manusia yang tinggi ilmunya tetapi terpuruk budi pekertinya, manusia yang tinggi kedudukannya tetapi berjiwa kerdil, fenomena diatas adalah produk/out put/lulusan pendidikan yang ada.

Sekolah yang didirikan bukan untuk meningkatkan derajat dan kualitas kehidupan anak didik, tetapi menambah income. Sekolah yang berbasis bisnis. Anak didik dimasukkan sekolah agar kelak mendapat pekerjaan yang layak, posisi yang bergengsi.

Hasil survey yang dilakukan oleh INSISTS, mahasiswa di PT kuliah tidak ingin membangun tradisi ilmu, tetapi kelak supaya mudah melamar pekerjaan. Ada sebuah ungkapan, SDIT identik dengan “Sekolah Dasar Iuran Terus”. Sekalipun statemen tersebut sulit dicari rujukan ilmiahnya, tetapi subtansi kebenarannya tidak mudah dipatahkan.

Sekolah memperlakukan anak didik hanya sebagai har-disk yang siap dimasuki informasi apa saja, tetapi tanpa program untuk mengolahnya, meminjam istilah penulis buku-buku parenting Fauzil Adhim.

Setiap hari mereka hanya belajar menyimpan informasi rapat-rapat ke dalam otak, dan mengingat kembali saat ulangan.

Dengan akselerasi media cetak dan elektronik, merupakan media pembelajaran untuk mengelola berbagai informasi. Tetapi, mereka tidak diajari bagaimana mensterilkannya dari sesuatu yang mengotorinya. Mereka trampil menggali informasi, tetapi tidak pandai memfilternya (menyaring), - memilah-milah – selektif dalam menyerapnya. Banyak penerbitan koran yang muncul, isinya hanya identik dengan “rongsokan”. Masyarakat sulit menerima informasi yang berimbang dan bermutu. Isi berita tidak mendidik, misalnya kritik yang bersifat konstruktif, obral doa. Tetapi bermuatan obral gosip (memakan bangkai).

Reduksi Pendidikan Agama

Pendidikan agama hanya sebagai suplemen pendidikan formal. Agama diceraikan dari kehidupan sosial. Tidak dilibatkan dalam mengelola kehidupan nyata. Disamping alokasi waktu yang sedikit, itu pun menggunakan pendekatan kognitif. Jadi, pendidikan agama nyaris tidak ada. Absen dari kehidupan anak didik. Agama hanya kumpulan pengetahuan. Sehingga lulusan ushuluddin menjadi manusia “ucul-uddin" (ucul/lepas agamanya), ketika dirayu dengan harta, tahta dan wanita.

Agama dilepaskan ketika disuguhi kursi, nasi dan komisi. Bukankah di Departemen Agama, Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, sebagai sarang korupsi insan berdasi (hasil penelitian ICW). Agama hanya sebagai isi otak, bukan sebagai tata acuan dan tata kelola kehidupan (minhajul hayah).

Batasan pendidikan agama di sekolah dipahami pelajaran menghafal dengan materi agama, dan dalam partisi otak, diberi nama pendidikan atau pelajaran agama. Ini sangat berakibat fatal terhadap perkembangan religiusitas lebih khusus lagi spiritualitas peserta didik. Gara-gara penanaman pelajaran menghafal sebagai pendidikan agama, peserta didik mengalami dereligiusisasi dan despiritualisasi yang menyedihkan.

Padahal agama adalah nasihat, untuk Allah, Rasul-Nya, Pemimpin dan masyarakat awam. Mereka semua sejatinya tunduk dibawah komando yang memberi nasihat (agama) agar selamat. Jika hidup tidak dikontrol oleh agama, orang kecil menjadi makanan pembesar, orang bodoh menjadi ajang kesewenang-wenangan orang pintar. Orang lemah menjadi makanan orang kuat. Orang miskin menjadi mangsa the have. Mereka yang kuat, pemodal dan yang menggenggam kekuasaan menjadi makanan empuk syetan. Demikianlah kelakar seorang tokoh ketika meresmikan IAIN Walisongo Semarang. Sekalipun disampaikan secara humoris, tetap memiliki kedalaman makna.

Model pendidikan yang mereduksi agama hanya menjadi seperti pelajaran IPA, Bahasa Indonesia, Matematika, atau bahkan lebih rendah dari itu, membuat potensi ruhiyah peserta didik tumpul dan mati. Bertambah jam pelajaran agama tidak membangkitkan kekuatan maknawiyyah (spirit moral) mereka. Sebaliknya, justru bisa rentan masalah. Mereka kehilangan kepercayaan pada agama, sekalipun mereka tetap memeluk agama. Agama hanya sebagai simbol. Hari ini, itulah yang sedang terjadi. Anak-anak kita banyak mengalami kelelahan batin dan disorientasi kehidupan.

Reduksi agama ini tidak boleh diteruskan. Kekuatan ruhiyah peserta didik harus ditumbuhkan dan dikuatkan, sehingga menjadi penggerak hidup yang sempurna. Pembangkit stamina lahir dan batin. Agama menggali potensi manusia untuk berinteraksi dengan metapisik, membangkitkan idealisme, mensucikan maksud dan tujuan, menguatkan azam (tekat) untuk bergerak menuju ke arah yang lebih baik, dan menghadirkan makna, nikmat (kepuasan batin) atas setiap tindakan yang dikerjakannya.

Kita teringat seorang ulama yang buta -Direktur Madrasah Ar Rasyad– sedang menguji hafalan Hadits Arbain Hasan Al Banna yang tersendat-sendat. Beliau langsung memberi motivasi yang terkesan dalam hati murid kesayangannya itu. Asri’ Ya Gharatallah! (wahai kuda-kuda Allah percepatlah larimu).

Setelah keluar dari kelas ucapan gurunya yang cacat pisik itu, tetapi karakternya kuat, berkesan di hatinya. Kata-kata ustadznya dipraktekkan dengan kawan-kawannya untuk lomba lari. Wahai kuda-kuda Allah, percepatlah larimu! Ucapan yang langsung direspon dan dijadikan acuan kehidupan.

Kita pula diingatkan dengan Lorraine Monroe. Ketika ia harus menangani sebuah SMA dengan latar belakang siswa yang sebagian besar berantakan, -broken home- (keluarga bermasalah), dan hidup dengan logika kekerasan. Ada dua hal yang menjadi program prioritas.

Pertama, membangkitkan high level of expectation (tingkat harapan yang tinggi). Mereka dimotivasi untuk memiliki target-target, tujuan dan cita-cita besar.

Kedua, meletakkan landasan berupa keyakinan (belief) yang kuat sebagai penggerak untuk melakukan dan mencapai yang terbaik (the spirit of excellence).

Proses untuk membangkitkan kekuatan ruhiyah berupa keyakinan yang kuat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta kesadaran akan kasih sayang dan kekuasaan-Nya harus mencakup semua aspek.

Kedua, sudah saatnya pendidikan dirancang untuk secara seimbang memberi sentuhan yang menggerakkan aspek kognitif, afektif, psikomotorik, dan spiritual anak. Berbagai potensi tersbut tidak bisa/tidak boleh dipisah-pisahkan. Harus utuh, dan ditangani secara holistik. Pendidikan yang hanya menyentuh salah satu aspek saja, akan lemah dan rapuh. Jiwanya retak-retak, terbelah (split personality). Boleh jadi tampaknya kuat, tetapi tidak memiliki landasan psikis yang kuat.

Hari ini kita menyaksikan bagaimana anak-anak sejak kecil dibiasakan dengan aktifitas keislaman berubah secara drastis (180 derajat) begitu mereka bersentuhan dengan lingkungan sosial, komunitas yang berbeda atau wacana yang lain dipersepsikan batil/salah. Akhirnya merasa paling benar sekalipun jauh dari kebenaran.

Hari ini kita juga menyaksikan bagaimana anak-anak yang hanya diaktifkan kompetensi kognitifnya yang paling rendah berupa menghafal, tetapi bobrok kepercayaan dirinya. Tidak teguh dalam memegang prinsip (landasan berpikir dan bertindak). Tidak memiliki keberanian berkorban dan mengambil resiko.

Hari ini banyak orang pintar, ilmunya menjulang ke langit (sundhul langit, Bhs Jawa), tetapi betapa parah dan memprihatinkan mutu akhlaknya. Semakin memuncak karir yang dirintis tidak semakin takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bukankah kasus KKN, simbol penyakit moral, yang menggurita di negeri ini dilakukan oleh orang yang berpendidikan sarjana. Bukan dari kalangan masyarakat awam.

“Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh.” (al-Hadits).

Mereka menyerap pelajaran umum, pelajaran agama, tetapi tidak disertai dengan penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam skala individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Agama hanya sebatas sebagai makanan logika, konsumsi otak. Sehingga kaya dengan serimonial keagamaan tetapi miskin aplikasi. Agama hanya sebagai simbol, kehilangan spirit.

kibatnya, wawasan mereka luas dan banyak. Tetapi, hanya sebagai mantra, bukan resep untuk mengurai kerumitan kehidupan. Hampir-hampir tidak ada yang diingat ketika mereka menghadapi masalah. Yang dipelajari tidak bisa menjadi acuan dalam mengatasi problem yang dihadapinya. Idealismenya melangit, tidak bisa dibumikan.

Rahibun fillail, Fursanun Finnahari

Sebabnya, proses pendidikannya salah. Input yang berbobot pun melahirkan out put yang tidak berkualitas. Perlakuan yang mereka terima di sekolah/universitas, hanya mencerdaskan otak, kemampuan manusia yang paling rendah (kognitif). Tidak peduli – dengan rasa dan karsa serta sikap mental -.

Berbagai upaya untuk melakukan revousi pendidikan mendesak dilakukan. Usaha yang terencana – yang mengaktifkan secara stimulan dan simultan berbagai potensi manusia, akliyah, ruhiyah dan jasadiyah - . Memadukan energi ijtihad, jihad dan mujahadah, perlu dilakukan sekarang juga. Sehingga mereka malam hari bagaikan pendeta, siang hari bagaikan panglima (rahibun fillail, fursanun finnahari).

Karenanya, proses pematangan konsep dan penerapan pendidikan yang holistik harus dipikirkan semua komponen bangsa sejak saat ini, sehingga cita-cita kita terwujudnya pendidikan integral, kurikulum berbasis tauhid tidak hanya berupa bayang-bayang.*

Oleh: Shalih Hasyim
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah

Sumber: http://www.hidayatullah.com/

About Admin

Abu Rasyidah Judi Muhyiddin, Penyuluh Agama Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bekasi | Pin BB 73ca04f3 | Whatsapp 081315609988 | email salampenyuluh@gmail.com
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply