» » Dakwah Melalui Budaya


Dakwah itu semestinya menyentuh hati dan akal sekaligus. Keduanya sama - sama bisa digunakan untuk berfikir dan merasai sesuatu. Dakwah umumnya dianggap berhasil jika mampu mencerahkan akal dan menaklukkan hati. Teringat dengan pesan dari ulama salaf "Apa yang keluar dari mulut, hanya akan diterima oleh telinga. Tapi apa yang keluar dari hati, akan diterima oleh hati". Sebagaimana hati lelaki yang tersentuh oleh wanita, tanpa bedak pun akan terlihat cantik dimatanya. Demikian pula jika hati sudah tersentuh dakwah, tanpa harus dihujani dalil pun mereka akan mengikuti seruan dakwah.

Menyentuh hati objek dakwah jauh lebih penting dan efektif dalam proses dakwah ketimbang menghadirkan beragam dalil dan hujjah. Dititik ini, kita bisa memahami mengapa dakwah kadang dihadirkan dengan banyak sarana, termasuk melalui simbol dan seni tertentu. Prinsipnya, semakin banyak pintu yang dibuka, semakin banyak pihak yang terlibat, semakin banyak pula orang yang akan memasuki dan menyambut seruan dakwah.

Diantara jenis kesenian yang digunakan dalam dakwah (khususnya tabligh) adalah wayang kulit. Kesenian ini disebut - sebut memiliki peran besar dalam "menghijrahkan" keimanan masyarakat suku jawa, dari agama Hindu - Budha menuju kepada agama islam. Dengan proses modifikasi kreatif pada bentuk, konsep dan alur cerita, media wayang kulit sangat efektif untuk mensyiarkan nilai - nilai islam. Jika dulu banyak shahabat pandai bersyair, maka para dai di Jawa sangat lihai ndalang.

Kuncinya, kita perlu berdamai dengan budaya. Didalam islam, setidaknya ada 3 jenis interaksi antara wahyu dengan budaya. Ada jenis budaya yang dikukuhkan menjadi syari'at, contohnya penghormatan kepada bulan haram dan tradisi musyawarah. Ada budaya yang diatur, misalnya perdagangan dan poligami. Ada juga yang dilarang, misalnya khamr dan maisir. Jadi tidak semua jenis budaya itu ditolak oleh syariat sebagaimana pemahaman sebagian aktivis dakwah.

Disini, kita perlu mengoptimalkan ikhtiar dan daya pikir. Yakni, antara menjaga orisinalitas ajaran islam dengan proses dakwah yang mengharuskan adanya adaptasi dan asimilasi dengan masyatakat yang didakwahinya. Sulit dipungkiri, bahwa kedua model tersebut selalu mengalami friksi dan benturan. Jalan tengahnya, kita perlu selektif untuk mengadopsi jenis budaya tertentu, serta mengdaptasinya secara kreatif untuk digunakan sebagai sarana dakwah. Dan ini tugasnya kaum faqih, bukan kaum awam.

Pendekatan budaya ini penting, karena masyarakat biasanya jauh lebih nyaman untuk berinteraksi dengan perkara yang sudah mereka kenal. Sejarah membuktikan, dakwah ditanah jawa berlangsung dengan soft dan gradual, bukan dengan pedang. Dakwah di Jawa adalah sebuah kisah sukses, berbasis akulturasi budaya. Kondisinya berbeda dengan dakwah di Burma dan Thailand, yang hingga sekarang masih didominasi Hindu - Budha, sedang Islam masih terus menjadi kelompok minoritas dan tertindas.

Memang ada efek samping dari proses ini. Yakni adanya gejala sinkretisme dan kelompok islam abangan. Ini adalah PR yang harus diselesaikan oleh generasi selanjutnya. Dari sini, kita harus memiliki pandangan yang integral tentang periodisasi dakwah disuatu daerah. Antar generasi harus berbagi tugas dan saling menguatkan dakwah generasi sebelumnya. Bukan malah mengingkari da menyalahkan apa yang telah dirintis generasi sebelumnya. Jika mereka telah memulai suatu fase, maka tugas kita melanjutkan ke fase dan jenjang berikutnya.

Hal lain yang harus dipahami, bahwa dakwah melalui jalur budaya berstatus sebagai hidangan pembuka dan diberikan kepada kaum awam. Hidangan utamanya tetap sama, yakni al qur'an, hadits, ijma' dan qiyas. Hal ini penting untuk dicermati, agar para dai tidak mengalami disorientasi dalam dakwahnya. Yakni menjadikan hidangan pembuka sebagai hidangan utama. Terlebih, dunia pewayangan memiliki basis ketuhanan yang berbeda dengan konsep tauhid islam. Contoh sederhananya, bagaimana cara kita meletakkan karakter Batara Guru dan kisah - kisah dikayangan dalam kacamata islam.

Sisi lainnya lagi, karakter wayang itu fiktif. Sedangkan islam memiliki karakter nyata yang penuh dengan keutamaan, seperti para shahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in dan para ulama, baik ulama mutaqaddimin maupun muta'akhirin. Kita juga memiliki kewajiban untuk mengenalkan dan menceritakan kisah Imam Syafi'i, Imam Bukhari, Imam Nawawi dll kepada umat islam. Sumbernya melimpah ruah, dari kitab sirah, manaqib, hilyatul auliya hingga siyar a'lam an nubala. Dan untuk melakukan hal itu, kita tidak bisa menggunakan media wayang, karena karakternya tidak tersedia dan plot ceritanya tidak ada.

Alhasil, media wayang kulit bisa dipergunakan sebagai sarana dakwah yang efektif ditengah masyarakat. Wayang kulit bisa menjadi tontonan yang menghibur sekaligus tuntunan yang bermanfaat. Namun tetap harus ditempatkan sesuai dengan proporsi dan kedudukannya. Wallahu a'lam.

By. Eko Junianto
@ Majelis I'tibar

About Admin

Abu Rasyidah Judi Muhyiddin, Penyuluh Agama Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bekasi | Pin BB 73ca04f3 | Whatsapp 081315609988 | email salampenyuluh@gmail.com
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply