Maqashid al-Hajj (Tujuan Ibadah Haji)
MIMBARPENYULUH.com —
Menuju Ibadah Kolektif yang Berdaya Guna
“Maqashid al-Hajj” barangkali istilah yang belum populer di kalangan umat Islam pada umumnya. Istilah yang kurang lebih bermakna tujuan-tujuan haji atau maksud yang diinginkan dari ibadah haji ini menyimpan banyak hakekat penting tentang rukun Islam yang kelima ini.
Kenyataan yang masih sedikit disadari banyak umat Islam adalah bahwa setiap ibadah dalam Islam ada “maqashid”-nya, ada tujuan yang mesti direalisasi, ada hikmah besar yang seharusnya terwujud melalui ibadah-ibadah ritual. Seringkali umat Islam melakukan ibadah tanpa berusaha menghidupkan ruh yang terdapat dalam ibadah tersebut.
Beberapa ulama dan pemikir Islam berusaha mengeksplorasi makna-makna penting yang tersimpan dalam ibadah haji ini. Ustadz Abul Hasan an-Nadwi mengkhususkan sebuah kitab berjudul al-Arkan al-Arba’ah yang menyingkap makna penting dan hikmah-hikmah yang tersimpan dalam rukun-rukun Islam yang sering kali dilupakan, yaitu rukun sholat, zakat, shaum dan haji. Pemikiran Islam Iran Ali Shariati juga mengarang sebuah buku khusus membahas tinjauan filosofis spiritual dalam ibadah multi nasional ini.
Jika Imam al-Ghazali hidup di jaman kita sekarang mungkin beliau akan menerbitkan kitab Ihya Ulumuddin version 2.0. Inti persoalan umat Islam ada pada “mati”-nya keislaman pada diri umat Islam. Ihya Ulumuddin yang berarti “menghidupkan ilmu-ilmu agama” memang ditulis oleh Imam al-Ghazali ketika dirasakan bahwa ilmu-ilmu agama sedang mati suri. Ilmu fiqh yang seharusnya memberikan pencerahan ruhani justru berubah menjadi sekedar ajaran-ajaran formal yang jauh dari sentuhan hati. Fiqh di jaman itu membatasi diri hanya pada hukum-hukum ibadah dan muamalah tanpa mengksplorasi spirit ajaran agama. Umat hanya berhenti pada batas-batas hukum boleh dan tidak boleh. Akhirnya agama hanya berupa rutinitas dan gerakan-gerakan mati tanpa jiwa. Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjadikan ilmu tasawuf sebagai ruh yang menghidupkan ilmu-ilmu agama Islam.
Revolusi Imam al-Ghazali yang dimulai di penghujung abad kelima hijriyyah tersebut mendorong munculnya generasi baru yang mampu menghidupkan ajaran agama dengan sentuhan keimanan dalam, seperti Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Jika pada generasi sebelum Imam al-Ghazali cenderung ada diferensiasi antara ahli fiqh dan ahli tasawuf, maka pada pada generasi sesudah beliau dikotomi tersebut memudar. Tetapi hal tersebut tidak bertahan lama. Karena pada generasi pewaris berikutnya justru terjadi pemformalan tasawuf yang berakibat pada munculnya tarekat sebagai forum-forum ritual yang sering kali terpisah dari kehidupan praktis.
Sebuah ironisme yang sering terulang dalam ajaran agama adalah hilangnya makna ajaran agama itu sendiri dari kesadaran umat. Ibadah sholat –misalnya- yang disyariatkan untuk menjadi moment ruhani dan pensucian hati, justru dirumuskan dalam kitab fiqh hanya sebagai gerakan dan ucapan tertentu mulai dari takbir sampai kepada salam. Bahkan niat yang hakekatnya murni aktifitas batin malah diartikan sebagai ucapan dan lafal-lafal tertentu. Hal seperti itu terjadi pada hampir semua ibadah, umat Islam banyak yang menjalankan ibadah tanpa mengerti apa makna di balik semua gerakan dan ucapan yang mereka lakukan. Akhirnya Islam menjelma menjadi jasad tanpa ruh, agama menjadi bangunan besar sepi tanpa kehidupan dinamis di dalamnya.
Dari mana pangkal kebuntuan tersebut? Jawabannya adalah keterputusan umat Islam dari al-Qur’an. Kita akan menemukan titik terang jika kita membaca ayat-ayat tentang ibadah dalam al-Qur’an. Jika kita bandingkan pembahasan masalah-masalah ibadah dalam kitab-kitab fiqh dengan pembahasan al-Qur’an tentang masalah yang sama, kita akan temukan perbedaan yang besar. Kita akan temukan bahwa al-Qur’an selalu mengaitkan antara kewajiban ibadah dengan makna ibadah itu sendiri, sesuatu yang tidak kita temukan dalam sebagian besar kitab fiqh. Sebagai contoh kita dapatkan bagaimana al-Qur’an menjelaskan fungsi sholat dalam kehidupan dan bagaimana al-Qur’an menjelaskan makna khusyu pada ayat 45 dan 46 di surat Al-Baqarah:
(45) “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (46) (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
Al-Qur’an juga menjelaskan tentang sholat yang efektif memberikan kebahagiaan, ketenangan jiwa dan stabilitas emosi dalam surat al-Ma’arij ayat 19-23:
(19) “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. (20) Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, (21) dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, (22) kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, (23) yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,…”
Kita akan merasakan suasana ruhani dan horison pemikiran yang sangat intens dalam pembahasan-pembahasan al-Qur’an. Ketika seorang muslim mencukupkan diri dengan buku-buku fiqh dalam mempelajari agama tanpa kembali kepada al-Qur’an, dia akan terpisah dari pancaran cahaya dan ruh al-Qur’an. Hal yang sama terjadi dalam pemahaman sebagian umat Islam mengenai ibadah haji. Ibadah yang bisa dikatakan paling memakan biaya dan membutuhkan tenaga ini seringkali dilaksanakan tanpa efektifitas yang seharusnya.
Al-Qur’an Berbicara tentang Haji
Pembahasan tentang ibadah haji dalam al-Qur’an terdapat dalam surat al-Baqarah (ayat 158, 189, 196-203), Ali Imran (ayat 97), al-Ma’idah (1-2, 97) dan surat al-Hajj. Kita akan dapatkan bahwa al-Qur’an lebih menekankan pada makna dan maqashid ibadah dari pada hukum-hukum fiqh yang biasa kita temukan dalam kitab-kitab fiqh. Bukan hal yang aneh apabila pembahasan tentang haji dalam al-Qur’an jauh lebih “hidup” dari pada gaya pembahasan para ahli fiqh. Bukan karena pembahasan kitab-kita fiqh tersebut salah atau melenceng, tetapi perhatian para ahli fiqh terfokus pada hukum-hukum fiqh yang juga bersumber dari al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Dan hal ini sebenarnya menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an yang membuktikan bagaimanapun usaha manusia menerjemahkan ajaran al-Qur’an, tetap saja manusia belum sampai mencapai ketinggian ajaran al-Qur’an. Retorika al-Qur’an dalam merangkum berbagai makna penting tidak sanggup dicapai oleh kemampuan retorika manusia, walaupun bahasa al-Qur’an adalah bahasa yang dipakai manusia, walaupun tema-tema al-Qur’an bukanlah tema-tema yang tidak mampu dipahami manusia.
Sangat penting bagi setiap muslim untuk berinteraksi langsung dengan al-Qur’an, untuk dapat memahami secara persis apa yang sebenarnya diinginkan Allah dari ibadah kita secara umum. Allah menginginkan hamba-Nya beraudiensi langsung dengan-Nya tanpa perantara.
Haji Puncak Ekspresi Ketakwaan
Ibadah dalam arahan al-Qur’an haruslah bermuara pada ketakwaan. Penyembahan seorang hamba bukanlah ritual mistis yang berhubungan dengan dunia gaib yang penuh takhayul dan serba irrasional. Ibadah dalam Islam adalah ketundukan seorang makhluk kepada Sang Pencipta penuh kuasa lagi kasih sayang. Kita temukan dalam al-Qur’an ayat-ayat ibadah selalu diakhiri dengan penegasan tentang sifat-sifat Allah.
Ambil contoh ayat 158 dari surat al-Baqarah, Allah berfirman
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar-syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui.”
Kita lihat bagaimana Allah menutup ayat tersebut dengan dua sifat-Nya yang agung yaitu “Syakir” (Maha Mensyukuri) dan “Alim” (Maha Mengetahui). Kita rasakan bagaimana Allah memperlakukan hamba-Nya dengan cara yang begitu terhormat. Allah SWT sebagai pencipta, pemilik dan penguasa seluruh alam begitu memberikan penghargaan terhadap hamba-Nya yang mengerjakan kebaikan dengan suka hati (tathawu’). Allah seolah-olah berkata bahwa beliau akan berterima kasih dan mengapresiasi kebajikan yang dilakukan hamba-Nya, dan Allah sangat mengetahui kebajikan yang dilakukan hamba-Nya.
Kita selalu akan merasakan hidupnya hubungan hamba dan Tuhannya setiap kali kita merenungkan sifat-sifat Allah yang Allah sebut di akhir ayat. Kita ambil contoh ayat lain di surat al-Baqarah ayat 199:
“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak dan mohonlah ampun kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat ini berbicara tentang perintah untuk bergerak dari padang Arafah kemudian Muzdalifah menuju Mina. Allah memerintah dalam kesempatan tersebut untuk memohon ampun kepada-Nya, dan Allah mengingatkan bahwa Allah bersifat Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dalam ayat ini jelas terasa bahwa Allah begitu ingin memberikan ampunan kepada hamba-Nya, sehingga Allah hanya memerintahkan agar para jemaah haji mohon ampun. Allah menyebutkan bahwa Allah sesungguhnya suka mengampuni hamba-Nya, dan bukan hanya mengampuni hamba-Nya Allah juga sangat menyayangi hamba-hamba-Nya. Ayat ini begitu kuat memberikan suasana kasih sayang dari Allah SWT, dan mempererat hubungan antara hamba dan Sang Pencipta.
Lebih jauh lagi bahkan di surat al-Ma’dah bahkan Allah mengungkapkan bahwa seluruh rangkaian haji sesungguhnya adalah momen agar para hamba Allah dapat merasakan dengan nyata sifat-sifat keagungan Allah dalam setiap syiar-syiar yang dilakukan dalam ibadah haji. Allah berfirman:
(97) “Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai ‘qiyam’[1] bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram[2], al-hadyu[3], dan al-qalaid[4]. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (98) Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat ini secara eksplisit dan gamblang menjelaskan bahwa sesungguhnya seluruh rangkaian ibadah haji beserta semua pra sarananya Allah syariatkan agar umat Islam menyadari kekuasan dan penguasaan Allah. Kegiatan-kegiatan ibadah haji semua adalah terjemahan praktis dari bentuk ketakwaan yang merupakan ekspresi dari keyakinan kita bahwa Allah mengetahui segala perbuatan hamba-Nya, didasari oleh keyakinan bahwa Allah dengan keadilan-Nya dapat menyiksa hamba-Nya yang ingkar dan dengan rahmat-Nya mengampuni dan menyayangi hamba-Nya yang taat. Allah mengatakan bahwa itu semua diadakan “agar kalian tahu” tidak hanya secara kognitif tapi juga “tahu” secara afektif dan psikomotorik.
Rangkaian ibadah haji yang dimulai dari ihram, kemudian thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, melempar jumrah sampai menyembelih hewan kurban semuanya adalah ekspresi ketakwaan hambanya. Ukuran-ukuran fisik menjadi simbol yang bisa sirna jika tidak berakar pada ketakwaan. Semua jerih payah juga akan buyar begitu saja jika tidak melahirkan ketakwaan kepada Allah. Karena itu Allah berfirman:
37. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS al-Hajj: 37)
Totalitas Penyembahan Paripurna
Rangkaian ibadah haji adalah rangkaian ibadah yang paling lengkap dari semua ibadah ritual Islam. Rukun-rukun Islam mulai dari mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian sholat, lalu zakat dan shaum adalah tangga-tangga yang mengantarkan pada kesempurnaan ekspresi ketaatan yang dikandung oleh ibadah haji.
Jika dua kalimat syahadat adalah ibadah hati yang diucapkan lisan, maka sholat melanjutkannya dengan ibadah tubuh yang lebih lengkap, tidak hanya hati dan lisan, tetapi seluruh tubuh bergerak menerjemahkan ketaatan sang manusia. Jika sholat telah lengkap mengikutsertakan tubuh dalam ketaatan, maka zakat melengkapi ketaatan tubuh dengan mengikutsertakan harta dalam mewujudkan ketaatan. Ketika seorang muslim sudah lengkap berbuat dengan seluruh jiwa dan hartanya, maka sisi lain dari kehidupan manusia dilengkapi dengan ibadah puasa yang mengharuskan manusia menahan diri dari beberapa hal yang disukai hawa nafsu, sehingga seorang muslim dengan puasa melengkapi ketaatannya tidak hanya dalam “berbuat” sesuatu tetapi juga dalam “meninggalkan” sesuatu. Seorang muslim tidak hanya wajib taat dalam berbuat tetapi juga wajib taat dalam menahan.
Ibadah haji merangkai semua jenis ibadah tesebut dalam rangkaian yang sempurna. Dimulai dari deklarasi ihram yang wajib diucapkan secara lisan, seorang haji harus menahan diri dari berbagai larangan tertentu selama masih berihram. Kemudian dilanjutkan dengan thawaf dan sa’i yang melibatkan seluruh tubuh. Dilengkapi dengan wukuf di Arafah dan lempar jumrah, prosesi diakhiri dengan menyembelih hewan kurban yang merupakan ibadah harta. Bahkan ibadah haji adalah ibadah yang paling menyita energi dan menelan biaya. Seluruh kemampuan yang diperlukan dalam ibadah-ibadah sebelumnya tercurah pada ibadah haji, sehingga pantas dikatakan bahwa ibadah haji adalah puncak ketaatan.
Perjalanan Penuh Dzikir dan Syukur
Jika kita ikuti satu per satu petunjuk al-Qur’an dalam ibadah haji kita akan temukan bahwa haji adalah perjalanan yang begitu sarat dengan ajakan untuk berdzikir dan mengingat nikmat Allah.
Dalam surat al-Hajj Allah SWT menyebutkan untuk apa semua jerih payah tersebut, demi tujuan apa perjalanan yang mahal dan jauh tersebut? Allah berfirman di surat al-Hajj ayat 28:
“…Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.”
Allah di ayat ini menyebutkan dua tujuan dari haji yaitu agar kita menyaksikan berbagai manfaat yang begitu banyak dari ibadah haji dan agar kita banyak mengingat Allah dalam berbagai kesempatan.
Menyaksikan Tanda-tanda Kekuasaan Allah
Ibadah haji adalah ibadah yang sarat makna. Dia bukan bentuk hura-hura tanpa tujuan. Haji juga bukan perjalanan main-main. Haji adalah event serius yang menyimpan banyak manfaat. Seluruh langit dan bumi berisi tanda-tanda kekuasaan Allah, tetapi tanda-tanda kekuasaan Allah yang dikandung dalam ibadah haji sangat jelas dan tegas, sehingga penting untuk disaksikan dan dipersaksikan kepada seluruh umat manusia.
“…padanya (Masjidil Haram) terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim[5]. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia.”
Tanda-tanda kebenaran di tempat suci itu begitu banyak dan jelas. Sangat penting agar seluruh umat manusia menyaksikan dan menceritakan hal-hal tersebut. Allah memelihara bekas telapak kaki Nabi Ibrahim AS. Bapak para Nabi ini begitu gigih memperjuangkan ajaran tauhid sehingga Allah mengaruniai beliau banyak kemuliaan, sampai-sampai bekas telapak kaki beliau Allah abadikan dan disandingkan dengan Rumah Allah yang suci.
Di sana juga memancar mata air zamzam yang sangat ajaib. Mata air yang deras memancar di sebuah lingkungan padang pasir berbatu yang jarang mengalami hujan. Sebuah tanda kekuasaan Allah yang mengabarkan kepada seluruh umat manusia bahwa Allah yang Maha Kuasa sangat mampu melakukan apa pun yang Dia inginkan meskipun tidak lazim menurut perhitungan dan pikiran manusia.
Di sana juga ada bukit Shafa dan Marwa yang menyaksikan keteguhan Sang Ibu yang agung Siti Hajar dalam menghadapi cobaan dan kesungguhan beliau mengatasi permasalahan yang sepintas lalu tampak mustahil di atasi. Seorang wanita tangguh yang tidak hanya mampu bertahan dalam kondisi sulit, bahkan juga berhasil mendidik seorang anak yang akhirnya menjadi nabi…
Bukti Kedigdayaan Agama Allah
Moment haji adalah event internasional yang fenomenal. Bukan hal yang biasa, lebih dari dua juta manusia dari berbagai belahan dunia dengan berbagai kebangsaan dan beragam bahasa dan budaya bertemu di satu tempat melakukan aktifitas bersama. Tidak ada daya tarik keduniaan yang menyebabkan padang pasir yang gersang tersebut dikunjungi jutaan manusia. Gerakan kolosal yang dilakukan jemaah haji memperlihatkan betapa kuatnya agama ini menggerakkan manusia. Tidak ada satu agama pun yang dapat melakukan event sebesar ini.
Masjidil Haram bagaikan jantung yang menyedot darah ke pusat kemudian menyebarkannya kembali ke seluruh tubuh dunia Islam. Ibadah haji menunjukkan bahwa agama Islam mampu menggerakkan manusia di seluruh dunia. Ibadah memperlihatkan potensi umat yang luar biasa. Tidak kurang dari tiga milyar dolar beredar dalam moment yang berlangsung tidak lebih dari bulan saja. Dua juta lebih manusia melakukan aktifitas keagamaan bersama di satu tempat. Barangkali Guinness Book mencatat haji sebagai momen keagamaan terbesar yang pernah dilakukan umat manusia sepanjang sejarah. Ibadah haji menunjukkan bahwa umat Islam sejatinya bukanlah umat yang lemah tak berdaya. Umat Islam adalah umat yang digdaya, hanya memerlukan manajemen dan pengarahan yang bijaksana untuk mengarahkan potensi umat yang luar biasa ini menjadi bangunan peradaban yang kuat dan besar.
Momen Pelatihan Kolosal
Rangkaian ibadah merupakan aktifitas kolosal yang melatih umat Islam dalam menginternalisasi nilai-nilai aqidah dan akhlak secara praktis. Islam bukan cuma ajaran filosofis tanpa bimbingan praktis. Islam juga bukan cuma teori tanpa praktek. Islam juga bukan hanya keyakinan tanpa amal dan perbuatan. Ibadah haji mengajarkan bagaimana keimanan berbuah pada perbuatan dan prilaku. Ibadah haji juga menunjukkan bahwa meraih keridhoan Allah tidak cukup hanya dengan berkhayal dan berkonsep, tetapi harus dicapai dengan usaha nyata dan jerih payah riil.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam ibadah haji bukanlah hal yang kebetulan. Semua bermuara pada pembinaan pribadi yang paripurna. Yang paling dapat menahan hawa nafsu dialah yang paling berhasil dalam pegemblengan “Mekkah Camp” ini. Yang paling bersabar dialah yang mendapatkan penghargaan ilahi dan sertifikat samawi setelah prosesi haji tersebut.
Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ. رواه البخاري
“Barang siapa yang berhaji karena Allah kemudian dia tidak berkata kotor dan berbuat fasiq dia kembali seperti ketika dia dilahirkan ibunya (tanpa dosa). (HR al-Bukhari)
Dalam Hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda,
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ. متفق عليه
“Dan haji mabrur tidak ada balasannya selain sorga.” (Muttafaq ‘alaih)
Tonggak-tonggak Sejarah Ketauhidan
Allah SWT memilih Mekkah sebagai lokasi haji dikarenakan di tempat ini terdapat monumen-monumen ketauhidan yang penuh berkah. Komponen-komponen penegak ajaran tauhid terakit, terbangun dan terpancar di tempat suci ini. Di sini lah Nabi Ibrahim diperintahkan untuk membangun pondasi fisik ajaran tauhid, setelah beliau berhasil membangun pondasi logika tauhid di Irak, Syam dan Mesir.
Di kota Mekkah juga Allah memilih untuk menjadi tanah kelahiran Nabi akhir jaman. Dan dari kota Mekkah juga dakwah tauhid dimulai. Dan demi kesucian kota Mekkah Allah melarang selain orang muslim untuk tinggal di dalamnya. Sebuah hukum yang hanya berlaku bagi bumi Hijaz. Dan di akhir jaman Allah juga akan menjaga Mekkah dan Madinah dari kedatangan Dajjal.
Penegasan Makna Tauhid
Ibadah haji adalah penegasan total makna “meng-esakan” Allah. Para jemaah haji disunahkan untuk mengucapkan kalimat talbiyah (Labbaikallahumma Labbaik) dan tahlil (Laa Ilaha Illallah) sebagai deklarasi sikap dan penyerahan diri kepada Allah Yang Maha Esa. Dalam ibadah haji keyakinan akan ke-esaan Allah diungkapkan dalam semua akitfitas yang mungkin dilakukan manusia, mulai dari gerakan hati, ucapan lisan, perilaku tubuh dan pengorbanan harta.
Makna tauhid dalam ibadah haji semakin kuat jika ekspresi kecintaan kepada Allah tercurahkan. Sebagian besar jemaah haji tak mampu menahan tangis haru bercampur gembira ketika merasakan dapat beribadah di Tanah Suci. Hati seorang mukmin akan merasakan suasana emosional yang sulit diungkapkan ketika mendapatkan pancaran kesucian Tanah yang penuh berkah ini.
Haji antara Simbol dan Esensi
Dalam ibadah haji kita menemukan banyak syiar-syiar ibadah yang bisa dipahami secara simbolik tetapi juga mengandung esensi nilai yang penting. Kita temukan kiblat umat Islam adalah bangunan segi empat yang terbuat dari batu cadas biasa selain hajar aswad yang istimewa. Dasar ajaran Islam adalah memerangi penyembahan makhluk apapun. Seseorang yang sholat menghadap Ka’bah dengan anggapan bahwa dia menyembah Ka’bah, dia sama dengan musyrik penyembah berhala. (Uniknya sejak dahulu sampai sekarang belum pernah ada yang menyembah Ka’bah itu sendiri, meskipun bangsa Arab pernah menyembah berhala-berhala sebelum datangnya Islam. Mereka menyembah berhal-berhala yang mereka letakkan dalam Ka’bah. Tetapi tak satu dari mereka yang menyembah Ka’bah). Simbol-simbol ibadah yang ada di tanah Mekkah seolah-olah memang Allah jadikan syiar tauhid yang terjaga dari praktek syirik.
Inti kesakralan Ka’bah, Maqam Ibrahim, bukit Shafa dan Marwa juga Jumrah di Mina bukanlah pada materi benda-benda tersebut, tetapi pada makna ketaatan dan nilai tauhid yang terkait dengan syiar-syiar tersebut. Karena itu para fuqaha sepakat bahwa seandainya Ka’bah hancur tak tersisa, umat Islam tetap disyariatkan untuk thowaf dan sholat ke arah Ka’bah, karena yang dimaksud bukan materi Ka’bah tetapi pada lokasi dan kondisi yang Allah tentukan sedemikian rupa.
Meski demikan buka berarti syiar-syiar tersebut hanyalah simbol semata tanpa esensi dan substansi penting. Karena ketaatan dan ketundukan kepada Sang Pencipta perlu diekspresikan agar tidak semata menjadi khayalan dan angan-angan kosong. Nilai-nilai tauhid terekspresi dengan mengagungkan syiar-syiar tersebut. Keyakinan abstrak tauhid perlu diterjemahkan dalam bentuk konkret. Karena itu Allah berfirman:
“Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS al-Hajj: 32)
Nilai penting syiar-syiar Allah bukan pada meterinya tetapi pada ketakwaan yang terekspresi dari sikap mengagungkan syiar-syiar itu.
Sekilas tentang Kemukjizatan Zamzam
Di antara bukti kekuasaan Allah yang mengagumkan di Tanah Suci ini adalah air zamzam yang menyimpan banyak keajaiban. Mulai dari keberadaannya, kandungannya dan khasiatnya semuanya serba mengagumkan. Di jaman kemajuan teknologi saat ini semua keajaiban yang dimiliki air zamzam bukan lagi mitos atau sekedar kabar burung. Berbagai penelitian ilmiah semakin menguatkan bahwa air zamzam bukan air biasa.
Pada tahun 1971 seorang dokter mengirim surat ke salah satu media massa di Eropa, untuk mempertanyakan kelayakan air zamzam untuk diminum. Dokter tersebut berasumsi berdasarkan posisi Ka’bah yang rendah maka air pembuangan seluruh kota Mekkah diperkirakan akan mengalir ke wilayah tersebut sehingga dibayangkan bahwa air zamzam tercemar oleh air limbah tersebut.
Menyikapi surat tersebut Kementerian Pertanian dan Pengairan Kerajaan Arab Saudi diperintahkan untuk menyelidiki kebersihan air zamzam. Maka dibentuklah tim riset yang terdiri dari berbagai ahli dari beberapa negara. Setelah diteliti di beberapa laboratorium di Eropa, ditemukan bukan hanya air zamzam layak diminum, tetapi bahkan air zamzam mengandung zat flouride yang dapat membunuh virus dan kuman-kuman. Juga didapatkan kandungan mineral yang tinggi dalam air zamzam. Ditemukan bahwa kandungan kalsium dan magnesium dalam air zamzam lebih tinggi dibanding air yang biasa dikonsumsi di perumahan pada umumnya. Bahkan air zamzam mengandung mineral-mineral alam dalam standar WHO dengan konsentrasi cukup tinggi. Hal ini dapat menjelaskan mengapa para jemaah haji yang lelah merasakan kekuatan dan kebugaran setelah mengkonsumsi air zamzam ini.
Patut diingat bahwa dalam iklim padang pasir yang panas jamaah haji banyak kehilangan zat-zat potasium dan sodium dari aliran darah bersamaan dengan jumlah keringat yang dikeluarkan tubuh. Hal itu sesuai dengan kandungan sodium yang cukup tinggi dalam air zamzam sehingga dengan mudah jamaah mendapatkan suplai mineral yang cukup menggantikan kekurangan tersebut.
Air zamzam bersifat basa, di mana air basa yang terionisasi dapat memberikan energi kepada tubuh, serta menyeimbangkan kadar H2 dalam tubuh, dan juga menyingkirkan limbah-limbah asam dari tubuh. Ia juga merupakan anti oksidan dan anti toksin yang memperkaya tubuh dengan elektron-elektron bagi oksigen bebas dan aktif. Di samping itu zamzam juga membantu penyerapan nutrisi secara lebih efektif, dan juga membantu proses sintesa mineral yang terionisasi secara lebih mudah. Ditambah dengan kemampuannya membantu proses pencernaan secara umum dengan mengembalikan keseimbangan tubuh. Juga mengurangi oksidasi organ-organ yang vital, juga turut menghancurkan sel-sel yang mengalami kanker. Zamzam juga bereaksi terhadap oksidasi dan reduksi negatif sehingga membentuk milliu yang dapat membunuh bakteri.
Hal di atas membuktikan kebenaran sabda Nabi SAW,
إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ وَشِفَاءُ سُقْمٍ
“Sesungguhnya air zamzam itu diberkahi dan ia merupakan makanan yang bergizi dan obat penyakit.” (HR al-Baihaqi, at-Thabrani dan a-Bazzar dengan sanad yang shahih)
Haji dan Manfaat Tanpa Batas
Allah mendeklarasikan dalam al-Qur’an bahwa moment haji adalah moment manfaat tanpa batas. Allah berfirman
“…Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka…” (QS al-Hajj: 28)
Allah menyebutkan kata “manafi’” dalam bentuk jamak dan nakirah (indefinitive) yang menunjukkan bahwa manfaat-manfaat yang terdapat dalam moment haji begitu banyak dan tidak terbatas. Manfaat yang tidak hanya terbatas pada manfaat keagamaan dan keimanan, tetapi juga manfaat keduniaan dan materi. Dalam haji Allah membolehkan jemaah haji menggabungkan tujuan akhirat dan kepentingan duniawi. Secara tegas Allah menyatakan bahwa berdagang dalam ibadah haji tidak dilarang. Allah berfirman,
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (QS al-Baqarah: 198)
Ibadah haji menjadi saksi bahwa dunia dan akhirat bukanlah dua hal yang kontradiktif jika seorang muslim mampu mengelola motivasi dan memanej berbagai kegiatannya. Seorang yang melakukan ibadah haji secara lengkap baik rukun-rukunya, ibadah wajibnya sampai sunnah-sunnahnya, masih akan dapat waktu dan kesempatan untuk melakukan perdagangan sederhana. Meskipun beberapa ulama mengatakan bahwa lebih afdhol untuk tidak melakukan dagang di sela-sela ibadah haji, tetapi semua ulama sepakat jika rukun-rukun dan kewajiban haji disempurnakan ibadah, kegiatan perdagangan tidak akan merusak haji.
Konsep connectivity dunia dengan akhirat memang ajaran Islam yang orisinil. Sebagaimana juga dalam sholat Jum’at setiap muslim diperintahkan untuk meninggalkan perdagangan selama sholat Jum’at kemudian setelah sholat justru Allah memerintahkan untuk menyebar di muka bumi mencari rizki. Allah berfirman:
(9) ”Hai orang-orang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (yaitu khutbah dan sholat Jum’at) dan tinggalkanlah jual beli[6]. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (10) Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS al-Jumu’ah: 9-10)
Islam bukan hanya tidak menghalangi umatnya untuk berusaha dan bekerja, bahkan Islam memerintahkan dan mengarahkan umat Islam untuk bekerja dan berproduksi setelah melaksanakan ibadah. Bahkan Islam menganggap pekerjaan dunia sebagai ibadah juga jika diniatkan untuk kebaikan. Hal ini bertolak belakang dengan agama Yahudi yang melarang umatnya bekerja di hari Sabtu. Tetapi anehnya justru umat Islam yang diperintahkan bekerja sambil beribadah justru kurang gigih bekerja seperti kaum Yahudi yang dilarang bekerja di hari-hari ibadah!
Dengan memahami ruh agama Islam kita sebenarnya mendapatkan gambaran yang cukup bagaimana seorang muslim menggunakan fasilitas dunia untuk beribadah dan berkarya dalam satu waktu. Ibadah haji selain ritual ibadah juga kegiatan ekonomi. Ibadah haji juga mengisyaratkan akan persatuan global umat Islam. Ibadah haji juga mengajarkan pentingnya ketertiban dan kedisiplinan dalam aktifitas-aktifitas kolektif.
Team Spririt dalam Haji
Ibadah haji mengajarkan bagaimana seorang muslim melakukan aktifitas kolektif secara baik. Ibadah haji adalah kegiatan yang selalu dilakukan dalam suasana kebersamaan. Tidak ada kegiatan haji yang bisa dilakukan dalam kesendirian, semuanya dilakukan secara terbuka dan bersama orang lain. Arahan pertama yang di ajarkan al-Qur’an dalam haji adalah larangan berbicara kotor dan berdebat. Allah berfirman:
197. “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berkata jorok), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS al-Baqarah: 197)
Larangan terhadap rafats, perbuatan fasiq dan perdebatan adalah ajaran akhlak. Tetapi di sisi lain dia adalah arahan agar suasana haji menjadi suasana yang kondusif untuk melakukan aktifitas ibadah bersama. Perkataan jorok dan kotor akan mengeruhkan suasana ruhani. Perbuatan fasik mengeliminir nilai ibadah itu sendiri. Dan berdebat akan merusak hubungan antara jemaah haji.
Allah juga menginginkan persamaan derajat dan kebersamaan aktifitas. Kaum Quraisy pada masa jahiliyah merasa lebih istimewa dibanding kaum yang lain sehingga dalam ibadah haji mereka tidak ikut wukuf di Arafah karena Arafah ada di luar batas Mekkah. Mereka merasa karena mereka penduduk tanah suci mereka tidak perlu keluar batas Mekkah untuk wukuf bersama kabilah-kabilah lain. Al-Qur’an lalu menurunkan perintah agar semua jemaah haji berwukuf dan bergerak dari tempat yang sama. Tidak deskriminasi golongan dalam Islam. Allah berfirman:
“Kemudian bertolaklah kalian dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah” (QS al-Baqarah: 199)
Semangat kebersamaan dalam haji ini terus Allah ajarkan bahkan setelah tahallul menyembelih hewan kurban. Allah memerintahkan daging hewan tersebut untuk dibagikan ke semua orang kaya ataupun miskin. Allah berfirman:
“Kemudian apabila dia (hewan kurban itu) telah roboh (telah disembelih), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS al-Hajj: 36)
Ayat tersebut memerintahkan orang yang berkurban agar selain mengkonsumsi hewan kurban, juga memberikan daging kurban itu untuk orang yang berkecukupan (al-qani’) sebagai hadiah juga kepada yang membutuhkan (al-mu’tarr) sebagai sedekah. Allah menginginkan dalam ibadah haji agar semua orang bergembira dan menikmati ibadah yang kita lakukan. Allah tidak menginginkan umat Islam egois dalam apa pun termasuk dalam prosesi ibadah.
Tetapi hal yang memprihatinkan adalah sebagian jemaah haji tidak memahami spirit yang ditanamkan al-Qur’an tersebut. Meskipun al-Qur’an mengajarkan semangat kebersamaan, sebagian jemaah haji justru mempraktekkan individualisme dan egoisme dalam ibadah haji. Banyak jemaah haji yang dalam tawaf misalnya bukannya bergerak secara tertib bersama seluruh jemaah haji, justru menabrak ke sana kemari dan mengganggu jemaah lain. Dalam melempar jumrah juga sering terjadi kesalahan yang sama bahkan sering membawa korban karena kesalahan tersebut. Ibadah melempar jumrah selalu menjadi kacau karena banyak jamaah haji berpikir egois dan tidak bisa bersikap tertib untuk melakukan jumrah dalam kebersamaan. Jika semua jemaah haji mempunyai semangat kebersamaan dan terbiasa pada ketertiban tidak perlu bersikut-sikutan apalagi bertabrakan. Jika semua jemaah haji memahami arah pergerakan ibadah dan mengikutinya secara baik semua proses haji akan menjadi gerakan kolektif yang begitu indah.
Khusus dalam melempar jumrah banyak kesalahan yang berakibat fatal akibat kesalahpahaman. Misalnya, ada pemahaman bahwa jumrah adalah setan sungguhan yang harus dilempari benda-benda menyakitkan. Karena itu banyak sekali jemaah haji yang melakukan lempar jumrah dengan penuh emosi. Padahal jumrah hanyalah simbol bukan setan sungguhan. Dan melempar jumrah juga tidak perlu keras ke arah tugu tersebut karena lemparan cukup sah jika kerikil dapat masuk ke dalam lingkaran jumrah walaupun tidak mengenai tugu tersebut.
Kesalahan kolektif yang juga membuat ibadah lontar jumrah kacau adalah karena sebagian jemaah haji kembali dari melempar jumrah searah dengan kedatangan jemaah yang baru datang, hal itu membuat para jemaah haji bertabrakan. Jika semua jemaah haji setelah melempar berjalan ke arah Mekkah (barat), maka tabrakan yang kacau balau tidak akan terjadi.
Di era globalisasi seperti sekarang ini, sudah bukan jamannya lagi seseorang hanya tahu kepentingan dirinya. Seseorang harus dapat memahami gerakan global sehingga tidak terjadi tabrakan tak beraturan.
Dalam ibadah haji seorang muslim seharusnya semakin mengerti bagaimana gerakan yang teratur. Seorang muslim dalam moment international ini seharusnya semakin mengerti bahwa setiap individu adalah bagian integral dari sebuah komunitas besar. Seorang muslim selayaknya terikat dan tersistem dalam sistem sosial, sistem manajemen dan sistem politik yang rapi sebagaimana haji adalah sistem ibadah berjamaah yang memperlihatkan kenyataan tersebut.
Di sisi lain ibadah haji akhirnya pada kondisi umat Islam sekarang memperlihatkan secara jelas kekurangan yang dimiliki umat Islam secara umum yang perlu diperbaiki bersama di masa mendatang. Jika umat Islam mampu memperbaiki sistem ibadahnya di masa haji, hampir dipastikan seluruh masalah keumatan dapat ditemukan solusinya secara tepat.
Hakekat Universalitas Islam
Hal penting yang ingin Allah perlihatkan dalam ibadah haji adalah universalitas agama ini. Islam adalah agama untuk seluruh dunia, semua bangsa, berbagai bahasa dan budaya. Ketika Eropa berjuang menegaskan prinsip-prinsip kemanusiaan berupa persamaan, kebebasan dan persaudaraan dalam Revolusi Perancis tahun 1789 M, umat Islam telah menjelmakan prinsip-prinsip kemanusiaan itu sepuluh abad sebelum Revolusi Perancis itu. Ibadah haji mempersamakan tuan dengan budak, kaya dan miskin, Arab dan non Arab, hitam dan putih. Semuanya wajib mengenakan pakaian yang sama dan melakukan kegiatan yang sama di tempat yang sama. Semuanya sederajat tidak ada pembedaan.
Ketika Amerika Serikat mendeklarasikan kemerdekaannya 300 tahun yang lalu, dan menyatakan bahwa semua umat manusia diciptakan sejajar, banyak yang mengira itu adalah pertama kalinya hak-hak asasi manusia dikumandangkan. Padahal Nabi Muhammad SAW sudah menyatakannya pada moment Hajjatul Wada’ (Haji Perpisahan) di depan seluruh jemaah haji ketika itu.
Moment haji adalah saksi sepenjang masa bahwa agama Islam adalah agama semua umat manusia. Islam tidak menemukan kesulitan untuk menerjemahkn persamaan kemanusiaan dalam bentuk nyata.
Dalam moment haji firman Allah tentang persamaan derajat manusia terwujud dan tampil dalam bentuk ajaran praktis.
13. “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurat: 13)
Haji antara Keikhlasan dan Popularitas
Ibadah haji juga mengajarkan bahwa keikhlasan tidak boleh dirusak oleh ekses-ekses popularitas. Ibadah haji tidak mungkin dilakukan secara sembunyi. Siapapun yang melakukan haji pasti akan diketahui orang lain. Sehingga seorang muslim yang melakukan ibadah haji harus dapat menjaga keikhlasannya bagaimanapun keadaanya.
Keikhlasan bukan selalu ada dalam kesendirian. Keikhlasan adalah menjaga agar motivasi beribadah hanya karena Allah semata. Kepopuleran, pujian atau celaan orang tidak boleh mengganggu niat dan motivasi. Untuk berbuat ikhlas dalam ibadah individual seperti puasa atau sholat malam mungkin sederhana. Tetapi tuntutan untuk tetap ikhlas dalam ibadah haji tidak dapat dipenuhi oleh semua orang. Hanya orang-orang yang mendapatkan hidayah dan ‘inayah dari Allah saja yang tetap dapat ikhlas dalam ibadah terbuka.
Obsesi Dunia dan Akhirat dalam Haji
Dalam ibadah haji banyak harapan yang diangankan para jemaah haji. Banyak doa terucap, banyak angan-angan tercurah. Ada yang meminta keluasan rizki. Ada yang meminta keturunan. Ada yang meminta kesehatan. Ada juga yang mengharap kekuasaan. Ada yang mengharap jodoh. Seribu satu doa beredar di langit Mekkah ketika haji. Al-Qur’an menyinggung hal itu dengan mengingatkan bahwa janganlah harapan-harapan dan doa-doa mereka terbatas pada obsesi dunia saja. Seorang muslim dianjurkan berdoa dan memohon kepada Allah agar mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat. Allah berfirman:
“Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia”, tetapi tidak ada bagian untukknya di akhirat. (201) Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka” (QS al-Baqarah: 200-201)
Sebuah ajaran agama yang indah dan menyenangkan. Kita sama sekali tidak dilarang untuk mengharapkan kebaikan di dunia. Kita hanya dilarang untuk tepaku pada obsesi duniawi yang sempit. Adalah naif kita memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Memberi hanya untuk kepentingan dunia yang pendek dan fana. Kesempatan beribadah dan berdoa di tanah suci haruslah digunakan sebaik-baiknya untuk meminta kepada Allah SWT sebanyak-banyaknya. Dan Allah Sang Maha Pemurah mengingatkan agar hamba-Nya jangan lupa untuk meminta kebaikan akhirat bagi dirinya. Hal ini sangat penting karena sebagian besar manusia hanya berpikir pendek dan sempit. Seolah- olah Allah berkata, “Janganlah meminta sedikit kepada-Ku, mintalah yang banyak, karena Aku Maha Kaya dan Pemurah. Janganlah meminta sesuatu yang akan sirna, minta kenikmatan abadi, karena Aku Maha Kuasa.”
[1] Para ahli tafsir menyebutkan tidak kurang dari enam makna dari kata “qiyam” dalam ayat ini; pertama berarti rambu-rambu agama; kedua berati kemanan bagi manusia; ketiga berarti tempat berdiri dan bertahannya agam;, keempat berarti tempat vital bagi dunia dan agama; kelima berarti tempat diwajibkan kepada manusia untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agama tertentu; keenam berati tempat vital untuk kehidupan manusia di mana berlangsung di sana perdagangan dan lain sebagainya. (Zadul Masir, Ibnul Jauzi, juz 2 hal. 267)
[2] Yaitu bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.
[3] Al-Hadyu berarti hewan kurban yang diperuntukkan untuk disembelih di hari Idul Qurban oleh jemaah haji
[4] Al-Qalaid adalah bentuk jama’ dari qiladah yang berarti sesuatu yang dikalungkan pada leher hewan kurban agar diketahui statusnya sebagai hewan kurban.
[5] Maqam Ibrahim berarti tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s, di mana membangun Ka’bah.
[6] Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muadzzin telah adzan di hari Jum’at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.
Fahmi Islam Jiwanto, MA
Sumber:http://fahmiislam.wordpress.com/2009/10/28/maqashid-al-hajj-tujuan-ibadah-haji/
No comments: